karena, kita sama-sama sinderala.
sayang,
ada nama dan keping wajahmu:dalam tiap pulas sapu yang menyentuh lantai.
dalam tiap debu yang terusir kain pel berkarbol.
dalam tiap buih busa deterjen diember rendaman baju kotor kami.
dalam tiap oseng tumisan sayur segar bercampur daging has dalam.
dalam tiap hela keringat saat bercocok tanam dikebun kami.
di akhir perundingan damai dengan dunia konsekuensi dan kausalitas, akhirnya kutemukan sedikit saja harapan.
berjanjilah menyanggah jika terdengar konyol, dengan intelektualitas bak cendikiawan aku rasa kita berdua ini adalah pemberontak radikal lengkap dengan femininitas dan anti feminis.
karena sungguh kamu merindu kerajaan patriarkis absolut, begitu juga aku.
walau jauh dari cukup, keberadaan yang mengelilingi terus ditepis secara konstan dengan lengan. kemapanan dimata kita seperti batu yang dijatuhkan dari tebing tepat kearah kita dibawah lembah. dan kita terus menangkis yang mereka di luar sana ais, kejar, sembah layak berhala.
kita yang congkak, angkuh.
menengadah tak menunduk dan terus melawan. kemapanan.
dengan cara apa? pertanyaan itu berkecamuk liar dibenakmu, bukan?
sederhana saja.
dengan terus menerus dan terus menggapai yang ideal.
melukis cita rasa citra diatas kanvas yang tak lagi bisa dilucuti apa saja warna yang tergores, tersiram, terciprat, tertuang, terludah dipermukaannya :
menggambar wajah lelaki.
yang kita berdua begitu yakini, ia tidak akan pernah ada.
energi yang tidak akan pernah terlahirkan (untuk menemani cahaya ini yang meredup seperti kunang-kunang menjelang fajar) meski dikonstelasi jagat seratus juta tahun cahaya jauhnya dari tangan kita yang kapalan.
mengapa kita bergulat keji melawan bayangan kita sendiri diatas ring kecil, disekelilingi kawat listrik, pelik, hingga darah tak lagi tangis?
karena sampai atom terkecil, secara kromosomik kita berdua terus berjuang menghukum diri sendiri. akibat merasa tak layak mendapat semua yang kita genggam sekarang, apalagi setelah melewati pintu servix ibu dan mama dulu dan akibat yang menyusul dibelakang, sesal, rasa bersalah.
melanjutkan janji primordial, kita mengamini meyakini utopia, cita akan cinta yang ternyata hanya ada diatas kertas dibantu pena.
dia tidak akan pernah ada, sayang.
mengapa tidak kita bangun dan bertatap muka dengan alam dibalik sadar?
pelototi lelaki yang tepat didepan mata.
lucuti atribut kosmetiknya.
masih mampukah kita mencintai tanpa persyaratan?
jika iya, mungkin saat itu adalah hari lahir kita yang sebenarnya.
di luar sana, manusia menunggu persalinan ibu dan mama.
sementara sampai saat ini kita masih bungkam dalam cairan amnion. yang ternyata lebih nyaman dari yang mereka semua bilang. dan kita terus melawan, entah pada siapa dan untuk apa.
aku sayang kamu.
maka dari itu, ayo kita keluar.
s e k a r a n g!