Hari ini saya terlalu struktural dan ilmiah.
Mungkin saja saya lupa bahwa itu terjadi dari dulu sampai sekarang. Sehingga hari ini sedikit tidak relevan.
Saya sadari itu saat berada dalam kecepatan sedang yang stagnan diatas argo parahyangan. Saat itu mata saya sedang dipaku pada paragraph dari buku setebal 684 halaman. Menyusuri maksud dan tujuan yang tidak memakan banyak usaha untuk sampai keotak. Dan mungkin karena plot yang sudah nampak jelas dan tantangan yang mengendur membuat sesekali pandangan mata naik, lurus kearah jendela. Hijau dan gerbong kereta. Udara sejuk menambah sentiment jadi tinggi. Saat itulah saya mengakui. Saya ini perempuan yang keilmiahannya keterlaluan. Kemudian saya lirik mata kekiri, sungguh kasian lelaki saya yang sedang nyenyak tidur sampai menganga. Sungguh, saya menatapnya penuh sayang sekaligus iba. Nampaknya ia kenyang disuapi struktur dan pola pikir ilmiah.
“Kamu terlalu takut lengket..”
Pernyataan itu dibuatnya beberapa waktu sebelum ia tidur yang kemudian saya mulai serius membaca buku. Berbagai jenis sanggahan dan otokritik siap jatuh bebas dari bibir, tapi urung terjadi. Sebagai anak muda yang tidak ingin lupa dengan asal usulnya, saya rasa mengadaptasi para perempuan jawa ada baiknya. Saya hanya tertegun dan diam. Baginya sama saja dengan angguk setuju, mungkin. Tapi disitu sebenarnya saya menunjukkan, setidaknya pada diri sendiri, saya mencintainya. Tidak sekedar kata-kata belaka.
Konsekuensi adalah akibat seperti asap. Dalam perihal yang sedang terjadi yaitu lengket. Kesadaran akan api sebagai agen penyebab. Dalam kasus ini adalah membuka kontainer kopi sembarangan. Kesadaran yang menyala terus menerus harus diakui melelahkan. Tapi seperti sulitnya ulangan, hasil rapot memuaskan akan kita terima diakhir semester. Adakalanya bermain dan lepas dari superego harus dilakukan, seperti Eclipse yang menyalip Norwegian wood, disitulah letak permainannya. Secara sadar nafas zen dilepas untuk mereguk udara roman murahan. Kata apalagi yang lebih bersahaja selain itu, saat yang seharusnya tersembunyi bisa kita intip? Apapun dari setiap perjalanan. Alam tak selamanya ramah berjabat tangan. Tidak mesti sekuat perisai. Hujan bukan ancaman, tetapi adalah konyol saat yang diprediksi betul terjadi. Jika menghindari ketergangguan tak lain dari kaku, katakan tepat dihadapanku mengapa tulang ada didalam dagingku? Jika darah tidak boleh beku, mengapa gigiku begitu kuat?
Kita adalah dialog tanpa ujung. Meski tak selamanya mengenai dialektika.
Struktur dan kausalitas bisa jadi bahaya laten bagi kebebasan. Rasionalitas usang.
Saat seorang perempuan mendaulat diri sebagai Homo Saphien, katakan (lagi) apa yang harus dilakukan saat semesta menggodanya bertanya, berfikir, dan berbuat?
Saya tetap diam. Sekaligus berbicara tanpa berhenti.
Mencintai mengajarkan saya melihat dunia.
Dunia yang bersolek mengajarkan saya wajah paradoksa.
Mencintai diri sendiri mengajarkan saya melukai orang lain.
Melukai orang lain mengajarkan saya kebencian.
Melukai diri sendiri mengajarkan saya tidak bisa mencintai orang lain.
Lagi-lagi menyepakati Noble Silence.
Lagi-lagi menundukkan kepala kepada para tuna wicara.