bicara soal moral dan fungsi luhur, apakah merupakan satu kekeliruan jika seorang manusia menghayati hidupnya, memandang paparan dunia real yang ia indera, tidak beda dari tokoh dalam sinema? dalam skema pembabakan drama teater?
katakanlah ia berlebihan. ia korban kejahatan modis purwa rupa. katakan apapun juga. silakan berasumsi terhadap keadaan yang ia alami.
namun sebelum memperosokkan opinimu kedalam jurang penilaian, bersediakah anda menggerakkan logika dingin dan prasangka panas itu sedikit lebih menjorok kedalam nurani terbening yang pernah ada.
siapa biang keladinya?
temukan dalam galian. silakan.
bingung?
bisa jadi cara saya bertutur yang sedikit keluar jalur.
namun saya akan gelitik sekali lagi kesadaran pembaca, apakah anda jarang merasa bahwa anda tokoh bawang merah dari sandiwara digeladak dunia? ada yang menangis merasai menjadi anda si tokoh tersiksa. anda merasa keperihan yang dirasa menjadi objek tontonan. mengharap syaraf dan serabut menyalurkan simpati.
witch hazel

Showing posts with label meringkuk. Show all posts
Showing posts with label meringkuk. Show all posts
Wednesday, 26 January 2011
Tuesday, 19 October 2010
Eat this, lover girl.
"having a child means having a tattoo on your face, you got to fully commited"
satu dari sekian banyak tagline yang saya ingat dari Eat, Pray, Love.
film itu cukup cerewet. dan seperti anak kecil menghadapi ibunya yang bawel, ia bisa tiba tiba out of tune dan perkataan yang membanjir dari mulut sang ibu cuma mendengung dan tidak memantul-mantul dalam sanubari sang anak, dalam kasus ini, penonton tertidur.
Julia Robert cukup renyah untuk segera dikunyah seperti snack ringan.
tapi kalimat yang keluar dari mulut sahabat Julia yang kebetulan seorang perempuan berkulit hitam, sempat membuat saya tersesat mengikuti alur kisah tersebut dan untuk waktu agak lama seperti berdiri telanjang dihadapan cermin. dan saya bertanya pada diri saya sendiri : sudahkah saya berani berkomitmen?
mungkin tidak dengan memiliki seorang anak, belum. tapi, dengan segala keputusan dalam hidup saya. dan menempatkan keputusan demi keputusan dengan tanggung jawab dan kesadaran penuh seperti memiliki tato diwajah saya?
reflektif.
saya berfikir keras, lebih tepatnya merenung.
tepat disebelah kanan saya, kekasih. sudahkan saya berkomitmen untuk mencintai keburukannya? sudahkah saya melepas atribut ego dan sejenak mengautentifikasi egonya? mengakui secara 'sadar' bahwa ia ada. keberadaan yang menyentuh titik paling aktual dalam situasi nyata.
akal dan nalar kali ini dipekerjakan untuk masuk kewilayah intuitif dan abstrak, saat bicara tentang rasa. satu zat yang berhasil membuat manusia dari zaman purbakala sampai saat ini sibuk, mencari barometernya. kerajaan subjektiva membangun laboratorium penelitian para unidentified flying object dari dunia objektiva.
kemudian ingatan saya memanggil momen, fragmen peristiwa, dan adegan dari masa lampau. salah satunya yang muncul adalah komentar, opini, atau kritik dari para sahabat.
yang terseleksi diakal, justru statement negatif mereka. dan dari situ saya mengukur yang tak mungkin terendus logika.
saya masih ada disini, disebelah kekasih saya. untuk seribu gugatan dan klaim kejam saya padanya, tangan kita tetap berpautan. kami masih terus bersama diantara hawa panas dan lembabnya suatu hubungan percintaan sampai semilir dingin meski singkat dari birahi atau apapun yang mendekati kebahagiaan. mungkin ledakan orgasmik, mungkin juga sekedar senyum tulus setelah ucapan terima kasih, atas suguhan sarapan, atau gelisah yang dijinakkan.
kemudian, satu serambi dalam jantung berdetak dan oksigen kembali masuk kekepala, disusul oleh sanggahan dari otak saya sendiri atas pernyataan saya sendiri tadi,
"apakah dengan bertahan menghadapi arus baik dan burukmu dengan pasanganmu berarti kamu sudah berkomitmen dengan baik dan benar?"
verifikasi kebenaran dari pernyataan awal dan jawaban dari sanggahan saya sendiri ternyata adalah ujian yang lain lagi. kali ini saya harus lebih sayang pada diri saya sendiri dibandingkan apapun yang lain, yaitu dengan keputusan saya untuk mengikhlaskan monolog ini open ending, cenderung ambigu. biarkanlah. karena hanya ruang waktu dan peristiwa yang bisa jadi ruang ujiannya. toh, bagi raport juga satu selaput yang masih belum saatnya saya tembus, kematian.
satu dari sekian banyak tagline yang saya ingat dari Eat, Pray, Love.
film itu cukup cerewet. dan seperti anak kecil menghadapi ibunya yang bawel, ia bisa tiba tiba out of tune dan perkataan yang membanjir dari mulut sang ibu cuma mendengung dan tidak memantul-mantul dalam sanubari sang anak, dalam kasus ini, penonton tertidur.
Julia Robert cukup renyah untuk segera dikunyah seperti snack ringan.
tapi kalimat yang keluar dari mulut sahabat Julia yang kebetulan seorang perempuan berkulit hitam, sempat membuat saya tersesat mengikuti alur kisah tersebut dan untuk waktu agak lama seperti berdiri telanjang dihadapan cermin. dan saya bertanya pada diri saya sendiri : sudahkah saya berani berkomitmen?
mungkin tidak dengan memiliki seorang anak, belum. tapi, dengan segala keputusan dalam hidup saya. dan menempatkan keputusan demi keputusan dengan tanggung jawab dan kesadaran penuh seperti memiliki tato diwajah saya?
reflektif.
saya berfikir keras, lebih tepatnya merenung.
tepat disebelah kanan saya, kekasih. sudahkan saya berkomitmen untuk mencintai keburukannya? sudahkah saya melepas atribut ego dan sejenak mengautentifikasi egonya? mengakui secara 'sadar' bahwa ia ada. keberadaan yang menyentuh titik paling aktual dalam situasi nyata.
akal dan nalar kali ini dipekerjakan untuk masuk kewilayah intuitif dan abstrak, saat bicara tentang rasa. satu zat yang berhasil membuat manusia dari zaman purbakala sampai saat ini sibuk, mencari barometernya. kerajaan subjektiva membangun laboratorium penelitian para unidentified flying object dari dunia objektiva.
kemudian ingatan saya memanggil momen, fragmen peristiwa, dan adegan dari masa lampau. salah satunya yang muncul adalah komentar, opini, atau kritik dari para sahabat.
yang terseleksi diakal, justru statement negatif mereka. dan dari situ saya mengukur yang tak mungkin terendus logika.
saya masih ada disini, disebelah kekasih saya. untuk seribu gugatan dan klaim kejam saya padanya, tangan kita tetap berpautan. kami masih terus bersama diantara hawa panas dan lembabnya suatu hubungan percintaan sampai semilir dingin meski singkat dari birahi atau apapun yang mendekati kebahagiaan. mungkin ledakan orgasmik, mungkin juga sekedar senyum tulus setelah ucapan terima kasih, atas suguhan sarapan, atau gelisah yang dijinakkan.
kemudian, satu serambi dalam jantung berdetak dan oksigen kembali masuk kekepala, disusul oleh sanggahan dari otak saya sendiri atas pernyataan saya sendiri tadi,
"apakah dengan bertahan menghadapi arus baik dan burukmu dengan pasanganmu berarti kamu sudah berkomitmen dengan baik dan benar?"
verifikasi kebenaran dari pernyataan awal dan jawaban dari sanggahan saya sendiri ternyata adalah ujian yang lain lagi. kali ini saya harus lebih sayang pada diri saya sendiri dibandingkan apapun yang lain, yaitu dengan keputusan saya untuk mengikhlaskan monolog ini open ending, cenderung ambigu. biarkanlah. karena hanya ruang waktu dan peristiwa yang bisa jadi ruang ujiannya. toh, bagi raport juga satu selaput yang masih belum saatnya saya tembus, kematian.
Monday, 4 October 2010
Thursday, 26 August 2010
PADA SYAHRAZAD
![]() | ||
nachtwey tak mengelak, ada perang dalam perang. dahsyat, terdahsyat bukan yang matanya lihat, namun jauh didalam tempurung antara otak dan nuraninya. pun ia, tak juga mampu mencetak diatas kertas, rasa. gambar begitu terbatas bingkai dan lensa tak pernah cukup bening.
karl may dengan yakin duduk dikursi kamarnya dan surat menyurat, pengalaman inderawi tak kuasa menggodanya keluar ruang dan mencicip kehidupan. kacamata personal dikumpulkan satu per satu dalam satuan waktu ke dalam satu berkas tebal. pun catatan, berubah sesuai kuasa tangan, kuasa ruang serta waktu.
yang gila, yang belum sepenuhnya terjaga dari lelap, syahdan bebas dosa. dali memulas kuas bersikukuh menggelar pasal dan ayat mengenai cairnya periode. pasang surut yang sadar dan yang tidak, atau keadaan diantaranya. ia bubuhkan warna, diantara dogma. dan ekspektasi begitu kentara jelas, ia tak ingin wilayah itu berakhir abu-abu. spektrum warna lain dipaksa lahir dari jemari yang menari di atas kanvas.
goldin yakin bahwa yang Ada, bersarang dari satu ruang intim. seperti semua tahu dialektika ovum dan sperma, maka ia rumahkan sebuah gejala. kemudian diagnosa membeku. apa yang diam tersembunyi antara rahasia dan realita? ceriwisnya sebuah kesunyian. itu yang bertubi-tubi ia bicarakan, dalam esai panjang, tanpa kata-kata.
ahli nujum dan komentator bola. menata tabir diatas meja makan malam. manusia begitu mendamba keniscayaan. tak pernah sabar menunggu sesuatu yang pasti akan datang. disitu kubrick duduk dimimbar disaksikan umat yang ketakutan. kecerdasan ontologisnya menghipnotis berbagai kalangan. bola mata berikut sejumput serabut otak garda depan. decak kagum instalasi manusia dan perempuan manequin. premanisme yang vandal. wig, penjahat dan efek jera yang letoy. usaha berat untuk membungkus demonstrasi dengan kertas kado rumit tapi cantik. khalayak umum, dibuat keringat dingin dan emosi.
mungkin kala itu fatmawati hanya ingin menjelujur dua kain menjadi satu. selain melahirkan, dan rela dimadu. dalam horizon hidupnya yang dibingkai batas, ia ternyata mampu menjadi ahli waris atas hak cipta bendera sebuah negara.
diluar sekat yang membatasimu, bisa jadi mereka yang tak mau diketahui personanya memberi dan melakukan banyak untuk dunia. setia hadir menjadi ruang kosong seperti gelas atau daun pintu. agar air bisa terus dituang untuk leher yang kerontang, dan segala yang hidup lalu lalang melintas perbatasan antara luar dan dalam.
sementara itu, ada yang terus membelakangi pura-pura tidak melihat serta menutup telinga erat hingga kedap.
Monday, 23 August 2010
wawancara antara dua orang yang satu.
seandainya saja saya punya kesempatan untuk tidak betul betul menjadi pecundang.
saya pasti tidak lagi punya keinginan ekstravagan untuk menculik kehidupan dan menguncinya dalam potrait.
saya pasti sudah sangat kehabisan waktu menikmati alam dengan mata telanjang.
tidak ada keinginan untuk memindahtangankan wajah cantik kehidupan, karena saya juga pasti sudah sangat kaya. berduit maksudnya.
jadi jika saya cerita tentang perjalanan fisik saya mengelilingi globe sungguhan, saya tidak perlu menunjukkan foto pada mereka yang bertanya lebih lanjut.
hanya tiket. pulang. pergi.
agar yang melempar pertanyaan bisa menelan panorama langsung dari bola matanya sendiri.
tak peduli berapa banyak orang yang bertanya.
tak peduli berapa lebar dunia.
kesempatan apa?
untuk berani.
bersedia durhaka.
hengkang angkat kaki.
mulai mengimani, entah apa yang setia menuntun dari dalam sini, suatu tempat yang tak pernah bisa orang lain lihat.
Saturday, 21 August 2010
kepada Kei Aozora.
karena, kita sama-sama sinderala.
dalam tiap pulas sapu yang menyentuh lantai.
dalam tiap debu yang terusir kain pel berkarbol.
dalam tiap buih busa deterjen diember rendaman baju kotor kami.
dalam tiap oseng tumisan sayur segar bercampur daging has dalam.
dalam tiap hela keringat saat bercocok tanam dikebun kami.
di akhir perundingan damai dengan dunia konsekuensi dan kausalitas, akhirnya kutemukan sedikit saja harapan.
berjanjilah menyanggah jika terdengar konyol, dengan intelektualitas bak cendikiawan aku rasa kita berdua ini adalah pemberontak radikal lengkap dengan femininitas dan anti feminis.
karena sungguh kamu merindu kerajaan patriarkis absolut, begitu juga aku.
walau jauh dari cukup, keberadaan yang mengelilingi terus ditepis secara konstan dengan lengan. kemapanan dimata kita seperti batu yang dijatuhkan dari tebing tepat kearah kita dibawah lembah. dan kita terus menangkis yang mereka di luar sana ais, kejar, sembah layak berhala.
kita yang congkak, angkuh.
menengadah tak menunduk dan terus melawan. kemapanan.
dengan cara apa? pertanyaan itu berkecamuk liar dibenakmu, bukan?
sederhana saja.
dengan terus menerus dan terus menggapai yang ideal.
melukis cita rasa citra diatas kanvas yang tak lagi bisa dilucuti apa saja warna yang tergores, tersiram, terciprat, tertuang, terludah dipermukaannya :
menggambar wajah lelaki.
yang kita berdua begitu yakini, ia tidak akan pernah ada.
energi yang tidak akan pernah terlahirkan (untuk menemani cahaya ini yang meredup seperti kunang-kunang menjelang fajar) meski dikonstelasi jagat seratus juta tahun cahaya jauhnya dari tangan kita yang kapalan.
mengapa kita bergulat keji melawan bayangan kita sendiri diatas ring kecil, disekelilingi kawat listrik, pelik, hingga darah tak lagi tangis?
karena sampai atom terkecil, secara kromosomik kita berdua terus berjuang menghukum diri sendiri. akibat merasa tak layak mendapat semua yang kita genggam sekarang, apalagi setelah melewati pintu servix ibu dan mama dulu dan akibat yang menyusul dibelakang, sesal, rasa bersalah.
melanjutkan janji primordial, kita mengamini meyakini utopia, cita akan cinta yang ternyata hanya ada diatas kertas dibantu pena.
dia tidak akan pernah ada, sayang.
mengapa tidak kita bangun dan bertatap muka dengan alam dibalik sadar?
pelototi lelaki yang tepat didepan mata.
lucuti atribut kosmetiknya.
masih mampukah kita mencintai tanpa persyaratan?
jika iya, mungkin saat itu adalah hari lahir kita yang sebenarnya.
di luar sana, manusia menunggu persalinan ibu dan mama.
sementara sampai saat ini kita masih bungkam dalam cairan amnion. yang ternyata lebih nyaman dari yang mereka semua bilang. dan kita terus melawan, entah pada siapa dan untuk apa.
aku sayang kamu.
maka dari itu, ayo kita keluar.
s e k a r a n g!
Tuesday, 27 July 2010
Saturday, 10 July 2010
KELUAR JALUR
sepeda. malam. anker. gitar. melodi. kretek. harum. hitam. kawan. hangat. memori. jenius. sayang. harum. anker. kekasih.
saat mencengkeram leher. mengerang pendek. sedikit melenguh. menjambak rambut. mendekat. menjauh :
kamu dihadapanku, tetapi dia bercokol kuat dikepalaku.
pagi ini hidungku begitu rindu menghirup harumnya, yang semalam menempel dilenganku.
pagi ini hidungku begitu rindu menghirup harumnya, yang semalam menempel dilenganku.
Friday, 11 June 2010
Suatu kerajaan, dimana megalo - patriarka bercokol berkuasa.
Ketika alfabet merah muda
Mengisi kertas hitam
tuan muda.
Ketika alfabet merah muda
Mengisi kertas hitam
tuan muda.
Sekonyong-konyong kuda-kuda saya yang dipaksa kuat, sempoyongan. Sengatan listrik mendera bagian dari diri. Yang sembunyi terselubung. Karena rentan. Selepas ia berujar singkat, rahasia sakti tersingkap. Tanpa tata karma ia memasuki pentagon saya. Saya tidak bilang terobos, karena tidak ada pemaksaan dan tidak terjadi kekerasan fisik. Tetapi pada suatu malam, disuatu motor, disuatu tempat sebutlah antah berantah. Komentar singkatnya itu memporakporanda bagian paling inti, inti dimana didalamnya ketakutan menyejati. Tetap saja ia berujar sekedar. Mungkin berkelakar.
Celoteh ringan itu dibalik diafragma, menggelegar. Dia bilang saya:
"Mereka bilang saya monyet."
Subscribe to:
Posts (Atom)