"having a child means having a tattoo on your face, you got to fully commited"
satu dari sekian banyak tagline yang saya ingat dari Eat, Pray, Love.
film itu cukup cerewet. dan seperti anak kecil menghadapi ibunya yang bawel, ia bisa tiba tiba out of tune dan perkataan yang membanjir dari mulut sang ibu cuma mendengung dan tidak memantul-mantul dalam sanubari sang anak, dalam kasus ini, penonton tertidur.
Julia Robert cukup renyah untuk segera dikunyah seperti snack ringan.
tapi kalimat yang keluar dari mulut sahabat Julia yang kebetulan seorang perempuan berkulit hitam, sempat membuat saya tersesat mengikuti alur kisah tersebut dan untuk waktu agak lama seperti berdiri telanjang dihadapan cermin. dan saya bertanya pada diri saya sendiri : sudahkah saya berani berkomitmen?
mungkin tidak dengan memiliki seorang anak, belum. tapi, dengan segala keputusan dalam hidup saya. dan menempatkan keputusan demi keputusan dengan tanggung jawab dan kesadaran penuh seperti memiliki tato diwajah saya?
reflektif.
saya berfikir keras, lebih tepatnya merenung.
tepat disebelah kanan saya, kekasih. sudahkan saya berkomitmen untuk mencintai keburukannya? sudahkah saya melepas atribut ego dan sejenak mengautentifikasi egonya? mengakui secara 'sadar' bahwa ia ada. keberadaan yang menyentuh titik paling aktual dalam situasi nyata.
akal dan nalar kali ini dipekerjakan untuk masuk kewilayah intuitif dan abstrak, saat bicara tentang rasa. satu zat yang berhasil membuat manusia dari zaman purbakala sampai saat ini sibuk, mencari barometernya. kerajaan subjektiva membangun laboratorium penelitian para
unidentified flying object dari dunia objektiva.
kemudian ingatan saya memanggil momen, fragmen peristiwa, dan adegan dari masa lampau. salah satunya yang muncul adalah komentar, opini, atau kritik dari para sahabat.
yang terseleksi diakal, justru statement negatif mereka. dan dari situ saya mengukur yang tak mungkin terendus logika.
saya masih ada disini, disebelah kekasih saya. untuk seribu gugatan dan klaim kejam saya padanya, tangan kita tetap berpautan. kami masih terus bersama diantara hawa panas dan lembabnya suatu hubungan percintaan sampai semilir dingin meski singkat dari birahi atau apapun yang mendekati kebahagiaan. mungkin ledakan orgasmik, mungkin juga sekedar senyum tulus setelah ucapan terima kasih, atas suguhan sarapan, atau gelisah yang dijinakkan.
kemudian, satu serambi dalam jantung berdetak dan oksigen kembali masuk kekepala, disusul oleh sanggahan dari otak saya sendiri atas pernyataan saya sendiri tadi,
"apakah dengan bertahan menghadapi arus baik dan burukmu dengan pasanganmu berarti kamu sudah berkomitmen dengan baik dan benar?"
verifikasi kebenaran dari pernyataan awal dan jawaban dari sanggahan saya sendiri ternyata adalah ujian yang lain lagi. kali ini saya harus lebih sayang pada diri saya sendiri dibandingkan apapun yang lain, yaitu dengan keputusan saya untuk mengikhlaskan monolog ini open ending, cenderung ambigu. biarkanlah. karena hanya ruang waktu dan peristiwa yang bisa jadi ruang ujiannya. toh, bagi raport juga satu selaput yang masih belum saatnya saya tembus, kematian.