Keputusan Jonathan Demme memilih Jodie Foster untuk
berperan sebagai Agent Starling dan Anthony Hopkins sebagai Dr. Lector
sangatlah tepat, karena The Silence of the Lamb merupakan film cerita yang
berangkat dari plot dan karakter (plot
and character based movie). Kecermatan dalam memilih cast yang sesuai
dengan naratif cerita memperkuat film ini masuk dalam kategori modern-day classic story. Bukan hanya itu,
film ini dinobatkan juga sebagai best
winner picture.
Tulang punggung cerita dari film ini adalah mengenai
seorang trainee FBI yang ditugaskan untuk meminta bantuan kepada seorang
narapidana dengan kasus pembunuhan sadis untuk menangkap pembunuh sadis lainnya.
Bisa dibayangkan seorang gadis bertemu intens dengan
seorang lelaki psikopat demi mendapatkan informasi mengenai keberadaan dan
kemungkinan ditangkapnya seorang pembunuh berantai. Dari titik itu muncul
begitu banyak kemungkinan untuk terciptanya hubungan antar karakter yang
dinamis, menarik sekaligus kompleks
Kenyataan pertama yang membuat penonton terkesima adalah
garis tipis antara super pintar dan super sadis. Dapat dilihat bahwa Dr. Lecter
adalah seorang manusia yang sangat pintar. Ia ahli dalam berstrategi,
memprediksi masa depan, membaca masa lalu, dan menciptakan situasi sesuai
keinginannya. Jonathan Demme berhasil memvisualisasikan kejeniusan Lecter.
Seperti membuat adegan mengenai Miss Hester Moffet, yang merupakan sebuah
anagram dari miss the rest of me.
Kenyataan berikutnya adalah bahwa ada hubungan yang lebih
intimate antara Starling dan Lecter.
Namun keduanya, yang sama-sama brilian, dibuat atau diolah seperti malu-malu
mengakui hal ini. Sedikit demi sedikit kepedulian dan rasa perhatian mengelupas
satu-persatu dari keduanya.
· Starling datang
di malam hari, kemudian dengan penuh perhatian Dr. Lecter memberikan handuk dan
berkata ‘your bleeding has stopped’
· Dr. Lecter
banyak berkata mengenai hubungan pribadi, seperti rasa suka Jack Crawford pada
Starling.
‘He likes you and
you likes him too’ (Dr. Lecter)
· Keinginan
Lecter untuk mengetahui Starling lebih dalam didukung dengan kuatnya keinginan
Starling untuk memecahkan kasus Buffalo Bill. Sehingga muncul Quid Pro Quo. Semua informasi yang didapat
mengenai Bill, harus Starling tukar dengan pertanyaan mengenai masa lalu
Starling.
‘I tell you things,
you tell me things, not about this case though, about yourself’ (Dr.
Lecter)
· Starling
pelan-pelan juga menjadi perhatian pada Dr. Lecter. Ia membawakannya lukisan.
Kemudian menuai komentar dari Lecter ‘people
will say we’re in love’. Saat menyerahkan lukisan, Demme memutuskan untuk
membuat shot dengan ukuran sangat padat memperlihatkan jari Dr. Lecter yang
mengelus pipi tangan Starling.
· Ketika film
hendak berakhir, Starling mendapat
telpon dari Dr. Lecter. Ia menelpon untuk mengucapkan selamat. Ketika Starling
bertanya mengenai keberadaannya, ia berkata ‘I’m having an old friend for dinner’.
Silence of the Lambs merupakan perpaduan dari banyak
kesempurnaan. Selain penyutradaraan, harus diakui plot dari skenario juga
begitu cerdas. Penulisnya Ted Tally mampu mengangkat cerita dari novel ke dalam
skenario dengan begitu cemerlang.
· Karena film ini
berbasis psikologi, maka banyak plot, alur, karakter dan meaning yang bermain-main dalam level kesadaran tertentu. Dalam
level subconscious contohnya saat Dr.
Lecter bertemu Senator dari Tennessee, Ruth Martin, ia berkata :
‘Tell me Senator,
did you breast-feed her? Toughened you nipples, didn’t it? Amputate a man’s leg
and he can still feel it tickling. Tell me mom, when your little girl is on the
slab, where will it tickle you?’
· Selain karakter
utama, terdapat hubungan sekunder yang menarik. Seperti hubungan yang lebih
dalam dari hubungan kerja antara tokoh utama Clarice Starling dengan Jack
Crawford, rasa saling tidak suka antara Dr. Chilton dan Dr. Lecter.
· Penonton dibawa
masuk ke dalam dunia antara Hanibal Lecter dan Clarice Starling, yang hubungan
antara dokter dan pasien, bapak dan anak, buyer
and seller, ataupun antar kekasih. Hal ini menjadi zona bebas bagi
interpretasi penonton.
Jonathan Demme bekerja sama dengan Tak Fujimoto sebagai
penata sinematografi, berhasil menerjemahkan skenario dan membawanya kedalam
dunia yang seolah-olah nyata.
Depth of Field dibuat shallow, sehingga penonton dibuat fokus
melihat kepada frame dan secara intim menangkap informasi baik yang ekspilis
maupun implisit.
Kamera diletakkan sangat dekat dengan garis imajiner khusus untuk shot
lawan bicara Clarice Starling. Sedangkan untuk Starling selalu terlihat berjarak dengan kamera. Camera movement selalu disesuaikan
dengan naratif, dan tidak bertindak melebihi yang dituntut oleh skenario,
sehingga tata kamera terasa begitu pas dan sesuai. Contohnya pada adegan
buru-buru, kamera kemudian bergerak dengan track. Pada adegan yang menakutkan,
kamera yang tadi statis bergerak maju dengan track.
Tak lupa Craig Mckay sebagai penyunting gambar berhasil
memberikan titik klimaks dari keseluruhan cerita. Pada babak akhir,
jukstaposisi gambar dan tata editing menggunakan metode paralel yang sangat pas
dan menghasilkan efek yang begitu dahsyat pada film. Saat pintu diketuk, dan
agent FBI hendak menyerbu markas Buffalo Bill. Ternyata Starling yang datang
tepat ke rumah Bill, dan agent FBI salah sasaran. Tokoh utama protagonis kita
masuk tepat ke sarang tokoh antagonis dalam cerita. Hal ini melahirkan surprise
sekaligus suspense dan menghancurkan antisipasi penonton terhadap ending.
Tehnik demikian menggenapi ketidakmampuan penonton menerka-nerka plot cerita.
Jonathan Demme berhak dan pantas mendapatkan piala Oscar
sebagai best director. Karena keberhasilannya dalam menggambarkan posisi
perempuan dalam dunia kepolisian yang berwenang (simbol dari otoritas
kepemerintahan). FBI biasanya didominasi oleh laki-laki (simbol dari patriarki)
dan cara Demme mengangkat hal ini ke dalam film sangatlah sesuai dan bahkan
terlihat begitu cerdas.
Contohnya saat Clarice lari pagi, gerombolan lelaki
melewatinya dan melihatnya dengan aneh, begitu pula saat ia menghadap Jack
Crawford, rekan kerja Jack juga melihat Clarice dengan cara yang serupa yakni
tatapan aneh. Saat Clarice masuk ke dalam lift dapat kita lihat juga postur
tubuhnya yang begitu ‘njomplang’ dengan para lelaki yang ada di dalam lift. Tak
bedanya ketika proses otopsi hendak dilangsungkan, Clarice yang menjadi
satu-satunya perempuan dalam ruangan itu akhirnya berkata dengan tegas dan
mengusir semua polisi lokal setempat untuk tidak mengganggu prosesi otopsi yang
FBI dan tim forensik lakukan.
Jonathan Demme berhasil menyuguhkan potret perempuan
dalam dunia yang begitu kental dengan dominasi patriarki dan harus berhadapan
dengan penjahat psikopat yang bisa ‘memakannya’ kapan saja, baik secara fisik
maupun mental.